Malam semakin larut, tak ada suara menyapa telinga, hanyalah hembusan angin yang disambut lembut dedaunan hingga terdengar suara gemersik secara perlahan. Kuarahkan pandanganku pada jam dinding yang ada di kamarku. “Ya Allah … sudah jam dua pagi, masih juga belum bisa tidur”. Kucoba menutup mata, tapi apa daya aku masih tetap tak bisa tidur. Pikiranku terbang melayang memikirkan hari esok, hari penentuan cita-citaku. Apakah aku akan lulus SPMB pada pilihan pertama, kedua … atau tidak lulus sama sekali? Aku merasa khawatir akan hal ini.
“Maaa …Rimaaaa tuh korannya sudah datang, lagian sudah shalat Shubuh belum ?” Sebuah suara keras dari ibu cukup mengagetkanku. “ Astagfirullah….. aku kesiangan, aku belum shalat”. Lalu aku bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Ketika melewati tengah rumah, mataku tertuju pada sebuah koran yang ada di atas meja. Hatiku berdebar keras. Langkahku terhenti.
“Ayo cepat sholat dulu, lihat tuh waktunya hampir habis,” sela ibuku dengan nada mengeras.
“Iya …iya ,” jawabku dengan nada manja.
Ketika sholat, aku merasa tidak khusyu. Pikiranku terganggu oleh adanya koran tadi. Berdo’a pun tak seperti biasanya. Kali ini lebih cepat dan tak sempat baca Quran. Masih memakai alat sholat, aku langsung mengambil koran. Tanganku bergetar, jantungku berdebar, kulihat satu-persatu nama di sana.
Akhirnya ,”Ibuu aku lulus di pilihan pertamaku!” teriakku tanpa sengaja. Tak terasa air mataku keluar, tangis syukur dan haru pun berbaur. Kulihat ibu menghampiriku dengan senyum khas yang menampakan kebanggaannya. Aku langsung merangkulnya. Sayang sekali ayah lagi pergi ke luar kota, tak bisa melihat keharuan ini.
“Oh iya Ma, bagaimana temanmu Ardi keterima apa nggak?” Tanya ibu mengingatkanku. Tanpa memberikan jawaban, aku langsung melihat Koran tadi lagi. Selang beberapa nama setelah namaku, kulihat nama Ardi di sana. Kebahagiaanku pun semakin bertambah, karena Ardi adalah sahabat terdekatku yang selalu bersama sama bahkan satu sekolah dari mulai SD, SMP, sampai SMA. Ardi jugalah yang dengan sabar menganjurkanku untuk berjilbab hingga aku memahami akan arti pentingnya sebuah jilbab dan aku mulai memakainya sejak kelas dua SMA.
“Bu, hebat sekali Ardi, dia diterima di kedokteran, aku harus mengabari hal ini secepatnya. Saya pergi dulu yah bu ke rumah Ardi!” pintaku. Tanpa mendengar persetujuannya, aku pun langsung pergi ke rumah Ardi. Terlihat sepintas ibu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum puas.
Di depan rumah Ardi langkahku terhenti. Kupandangi rumah tersebut dengan penuh keraguan. Sebuah rumah kecil dari bambu yang banyak menyisakan kenangan dalam kehidupan Ardi karena merupakan satu-satunya peninggalan almarhum ayahnya. Terlihat pula disekelilingnya sepetak pekarangan yang kini ditumbuhi singkong dan ubi. Pikiranku mulai melayang, apakah mungkin dari rumah yang sesederhana ini bisa menciptakan seorang dokter? Sungguh suatu kejadian yang luar biasa jika hal ini terjadi.
“Assalamualaikum Nak Rima,“ sebuah suara serak membuyarkan lamunanku yang ternyata adalah suara ibunya Ardi.
“Oh… eh wa……waalaikumsalam bu,” jawabku sembari mencium tangan kasarnya.
“Mau ketemu Ardi yah, tuh ada di belakang ,” tebaknya sambil menunjuk ke arah Ardi yang kelihatan sedang repot membawa barang dagangan ibunya dari pasar.
“Ardi kamu lulus di kedokteran! Walau jurusan kita beda, tapi kita satu kampus lagi Di!” teriakku tanpa sadar. Terlihat Ardi bergembira, tapi hanya sesaat, matanya langsung tertuju pada ibunya. Keduanya saling beradu pandang penuh keraguan. Ardi langsung menunduk dan ibunya bergegas menuju ke dalam rumah sambil membawa barang dagangan di tangan Ardi tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Aku menjadi bingung sendiri, apakah tindakakanku salah telah memberitahukan hal ini pada Ardi? Tanpa sengaja Aku langsung beradu pandang dengan Ardi.
Tiba-tiba sebuah tangan kecil menutup kedua mataku sambil terdengar suara tertawa cekikikan membuatku kaget.
“Ani lepaskan, jangan gitu dong pada kak Ima!” bentak Ardi pada orang yang menutup kedua mataku yang ternyata adalah Ani, satu-satunya adik perempuan kesayangannya Ardi yang baru berusia delapan tahun.
“Ayo minta maaf pada kak Ima!” suruh Ardi.
Dengan penuh ketakutan dan cemberut manis Ani menyodorkan tangannya padaku sambil meminta maaf. Kulihat baju lusuhnya yang dipenuhi noda-noda crayon cair. Memang anak ini mempunyai kepandaian dalam menggambar, bakatnya sudah kelihatan sejak usia tujuh tahun. Makanya sejak dua bulan kemarin Ardi membelikannya crayon cair dan peralatan menggambar lainnya.
***
Digg
Del.icio.us
Netscape
Yahoo
Technorati
Googlize this
Facebook
