Contact
Login

Login



Question

Contact



Pro-Kontra 24 Jam Mengajar Siapa Mau Diajar? PDF Print E-mail
(4 Votes)
ICT Center Smansa / Saturday, 15 January 2011 15:28

Polemik penerapan mengajar 24 jam tatap muka di media massa memunculkan persepsi miring bahwa guru seakan-akan mau mangkir dari tugas, inginnya santai-santai, tidak mau bekerja secara penuh, tetapi harus menerima gaji utuh. Sudah sedemikian parahkah pemahaman mentalitas pendidik kita? Atau hanya persepsi yang keliru dan apa permasalahan sebenarnya? Tulisan ini berusaha mengurai benang merah dari sisi guru.

Ketentuan mengajar 24 jam tatap muka sebenarnya bukan barang baru. Sejak 15 tahun lalu, Keputusan Men-PAN No 84 tahun 1993 sudah mengatur hal itu. Guru juga sudah amat mengerti dan selama ini sudah melaksanakan kewajiban itu dengan dedikasi tinggi. Tanpa mengeluh soal kesejahteraan dan hanya sedikit berharap ada peningkatan serta jaminan kemudahan memperoleh pendidikan bagi putra-putrinya sendiri.
Melalui Permendiknas No 18/2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan, sekali lagi aturan ini diperinci. Sekali lagi, guru yang sudah lulus sertifikasi maupun yang tengah berjuang mengumpulkan portofolio, tidak ada yang mengeluh dan siap melaksanakan dengan senang hati. Guru sadar, atas nama tanggungjawab moral dan akuntabilitas publik, berapapun beban jam mengajar akan diemban dengan dedikasi tinggi.

KTSP Kurangi Beban Mengajar
Pada 2006, pemerintah mengeluarkan Permendiknas RI No 24 tentang Pelaksanaan Standar Isi yang menyatakan bahwa satuan pendidikan dasar dan menengah yang telah melaksanakan ujicoba kurikulum 2004 secara menyeluruh dapat menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan mulai ajaran 2006/2007. Khusus untuk wilayah Jawa Timur, KTSP serentak dilaksanakan pada bulan Januari 2007.
Nah, penerapan KTSP inilah yang menjadikan jam pelajaran berkurang secara signifikan. Hampir semua pelajaran terjadi pengurangan jam tatap muka kecuali mata pelajaran PPKn dan Pendidikan Agama. Pada mata pelajaran karakter jurusan terjadi pengurangan besar, seperti mata pelajaran Fisika untuk jurusan IPA kelas X, dari 5 jam tatap muka per minggu menjadi 2 jam tatap muka saja.
Untuk kelas XI memang tidak ada penurunan jumlah jam tatap muka, tetapi karena dikelas ini sudah ada penjurusan maka jumlah rombongan kelasnya juga mengalami penurunan. Untuk kelas XII terjadi pengurangan 2 jam tatap muka, dari 7 jam tatap muka menjadi 5 jam tatap muka pada klas XII. Jika diasumsikan ada 8 rombongan belajar, maka terjadi pengurangan 2x8 = 16 jam tatap muka.
Pada jurusan IPS, penurunannya lebih besar lagi. Sebagai contoh mata pelajaran Ekonomi kelas X berkurang 1 jam tatap muka per minggu dibandingkan pada klas I dan klas XII berkurang 5 jam tatap muka per minggu dibandingkan pada klas III. Bila dikalikan dengan rombongan belajarnya penurunannya akan sangat besar. Untuk mata pelajaran yang lain juga mengalami penurunan yang signifikan.
Pengurangan jam tatap muka pada penerapan KTSP ini awalnya direspon sebagai sesuatu yang menguntungkan bagi guru. Maklum selama penerapan Kurikulum 1994 para guru seakan kerja rodi. Jangankan 24 jam tatap muka, lebih dari 28 jam tatap muka per minggu adalah hal yang biasa. Tidak ada masalah, para guru dengan ikhlas tetap melaksanakan kewajibannya mencerdaskan anak bangsa layaknya putra-putrinya sendiri.
Adanya beban mengajar yang berlebih hampir pada semua guru ini, beberapa Kepala Sekolah mengambil kebijakan internal menambah GTT (Guru Tidak Tetap). Keberadaan GTT selama ini telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit kepada sekolah, tidak ada perbedaan. Semua bergandeng tangan dengan mesra demi tugas mulia mencerdaskan anak bangsa. Hanya nasib yang membedakan. PNS digaji negara, GTT digaji sekolah..
Nah disinilah masalah mulai muncul, saat kembali ada tuntutan 24 jam mengajar, keadaan sekolah dari kekurangan guru menjadi kelebihan guru. Kondisinya menjadi tidak kondusif. Tidak ada lagi gandeng tangan. Sebagian guru ada yang saling berburuk sangka. Sebagian yang lain bersikap wait and see, untuk mendapatkan yang terbaik bagi dirinya sendiri, bukan untuk sekolah atau murid.
Terjadi ”perang dingin” memperebutkan jam mengajar. Khususnya guru yang telah lulus sertifikasi menuntut mendapatkan 24 jam tatap muka sebagai syarat mendapatkan tunjangan profesi. Sedangkan guru yang belum lulus sertifikasi juga menuntut 24 jam tatap muka agar segera disertifikasi. Guru yunior dan guru GTT menjadi terpinggirkan, tetapi merekapun tidak mau ketinggalan, menuntut 24 jam tatap muka karena mereka juga berhak mendapatkan sertifikasi. Kalau semua menuntut 24 jam tatap muka, lantas siapa yang akan diajar? Kemana kepala sekolah mencarikan siswa untuk diajar?

Guru dipojokkan
Kebingungan di level pelaksana ini, diperkeruh dengan berbagai statement dari berbagai pihak yang merasa paling tahu masalah pendidikan. Ujungnya bisa ditebak, pelaksana (guru) adalah pihak yang paling enak (baca: mudah) dipojokkan. Mulai terlalu banyak minum anggur reformasi, harus legawa, dan yang terakhir diminta kembali ke khitah. Bahkan ada yang membandingkan jam mengajar 24 jam tatap muka terlalu sedikit bila dibandingkan PNS lain yang mencapai 37 jam. Padahal jam tatap muka guru hanya 45 menit bukan 60 menit.
Jam kerja guru dan PNS lain sebenarnya tidak bisa dibandingkan, karena memang berbeda. 1 jam pelajaran analog dengan 1 SKS artinya 45 menit tatap muka, 45 menit membuat persiapan mengajar (RPP dan rencana tindakan), 45 menit koreksi, evaluasi, remidi dan konseling. Jadi kalau mau hitung-hitungan 1 jam pelajaran itu sama dengan 135 menit atau 2 jam murni lebih 15 menit. Kalau ini dikalikan 24 jam maka jam mengajar guru sebenarnya adalah 54 jam murni. Dan selama ini para guru tidak mengeluh, tetap legawa, tetap berada di-khitahnya, dan tetap bekerja dengan senang hati.

Solusi yang bukan solusi
Polemik di media masa juga menawarkan berbagai solusi diantaranya: (1) untuk memenuhi 24 jam tatap muka, guru dipersilahkan mencari tambahan jam pelajaran di sekolah atau madrasah lain baik negeri ataupun swasta sesuai mata pelajaran yang diampunya. Ini tidak menyelesaikan masalah dan tidak rasional karena masalah sebenarnya adalah berkurangnya jam pelajaran akibat perubahan kurikulum. Tentunya di sekolah lain juga mengalami masalah yang sama. (2). Mendistribusikan guru GTT ke pedesaan, solusi ini jelas tidak rasional, selain terkesan kejam masalah berkurangnya jam pelajaran juga terjadi di pedesaan karena kurikulumnya sama. (3) Mengajar pada Paket A, B, dan C sesuai bidangnya. Solusi ini bisa dicoba. Namun tetap tidak akan mampu menampung jumlah guru yang kekurangan jam mengajar. (4). Menjadi guru bina atau pamong pada pendidikan terbuka. Solusi inipun tetap tidak akan mampu menampung jumlah guru yang kekurangan jam mengajar.
Berbagai solusi yang dipolemikkan agaknya masih kurang aplikabel, masih jauh dari penyelesaian. Oleh karena itu upaya peninjauan ulang kebijakan mengajar 24 jam seperti yang banyak disuarakan patut didukung, bukan karena guru tidak mau mengajar tetapi lebih kepada siapa yang mau diajar?

Written by :
Iim Imansyah, M.Pd