• Home
  • BACK TO SMANSA WEB
TAG BLOG
blog facebook friendster Indonesia network twitter
BLOGGER
artnya (2) Agus
sisy_ctk (4) Sisy Rangan
akbar1841991 (1) Akbar
Bowo (1) Ismail Satrio Wibowo
adm (1) Administrator
LAINNYA
  • artnya (2)
  • sisy_ctk (4)
  • akbar1841991 (1)
  • Bowo (1)
  • adm (1)
  • dian_coach (1)
  • handaru (1)
  • azis8439 (5)
  • barra (3)
  • imanez (1)
  • ume_funkieh (1)
  • Setiadi (1)
  • dianheri (1)
BLOG ARCHIVES
  • August 2010 (1)
  • June 2010 (1)
  • May 2010 (1)
  • November 2009 (1)
  • July 2009 (8)
  • June 2009 (1)
  • May 2009 (4)
  • March 2009 (1)
  • February 2009 (3)
  • October 2008 (1)
  • January 2007 (1)

Smansacis Blog

A short description about your blog
  • Home
  • Tags
  • Search
  • Feed
Jul 22
2009

JILBAB WANITA MUSLIMAH

Posted by: Dian Permana in Blog-Ku

Tagged in: network

Dian Permana

Diambil dari Buku : Jilbab Wanita Muslimah, karya Syekh Nashiruddin

sebelumnya hanya ada delapan dalil. Demikian pula, kami menambahkan
pada cetakan baru ini sejumlah atsar sahabat yang amat
penting yang menunjukkan bahwa wajah dan kedua telapak tangan
wanita bukan aurat, bisa pembaca temukan pada hlm. 111-117.
Yang lebih penting lagi adalah uraian kami pada hlm. 59-64. Di
situ kami jelaskan pandangan cemerlang Ibnu Abbas dan para sahabat
lainnya, serta para ahli tafsir yang mengikuti pendapatnya berkait
dengan penafsiran firman Allah ta'ala:
"...Kecuali yang biasa nampak...." (QS. An-Nur: 31)
Beliau berpendapat bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut
adalah wajah dan kedua telapak tangan. Maksudnya, kecuali yang
biasa tampak berdasarkan izin dan perintah Allah yang membuat
syariat. Sehingga sekarang tidak ada lagi ganjalan atau kemusykilan
terhadap penafsiran Ibnu Jarir dan Qurthubi, yang telah saya
beberkan di situ. Kajilah bahasan tersebut, karena sangat penting!
Di situ juga saya jelaskan bahwa pemahaman saya dinukilkan dari
pendapat Al-Hafizh Ibnu Al-Qathan Al-Fasi di dalam kitabnya yang
berbobot An-Nazhar fiAhkam An-Nazhar. Semua itu adalah berkat
usaha pengkajian dan penelitian yang berkesinambungan untuk
mendapatkan kebenaran dalam masalah yang diperselisihkan para
ulama.
Ada juga tambahan lain dalam judul bahasan "Faidah Muhimmah"
(hlm 128-131) yang membahas tentang bahaya mengambil wanitawanita
kafir menjadi pembantu di rumah-rumah kaum muslimin.
Ada juga tambahan lainnya (pada hlm 135-136) yang membahas
masalah warna-warna pakaian wanita yang oleh sebagian kaum
wanita dianggap sebagai perhiasan, padahal bukan, dengan menyertakan
dalil-dalil yang berkaitan dengannya.
Banyak lagi tambahan-tambahan lain, panjang lebar maupun
ringkas, yang bisa pembaca temukan di berbagai halaman di dalam
kitab ini untuk menopang keilmiahan pembahasan.
Hal lain yang perlu saya sampaikan, bahwa ada beberapa pembahasan
yang pada cetakan-cetakan sebelumnya saya masukkan ke
10—Jilbab Wanita Muslimah
dalam catatan kaki, namun pada cetakan yang baru ini saya masukkan
ke dalam bahasan pokok, karena pentingnya masalah tersebut. Misalnya,
pembahasan yang ada pada hlm. 85-90 dalam judul "Ibthalu
Da'wa Anna Hadzihi Al-Adillah Kullaha Kanat Qabla Fardhiyati Al-
Hijab" (Bantahan terhadap Anggapan bahwa Dalil-dalil Ini Berlaku
Sebelum Diwajibkannya Jilbab); dan juga pembahasan-pembahasan
lain.
Sudan sejak beberapa tahun yang lalu -mungkin sekitar dua
tahun- saya menulis mukadimah untuk cetakan baru ini. Di sela-sela
mengerjakan itu, terpaksa saya perlu menyanggah beberapa ulama
yang mengkritik kitab saya ini, khususnya pendapat saya bahwa wajah
dan telapak tangan bukan aurat, di mana mereka mengkritik saya
dengan kritikan yang tidak ilmiah, bahkan diiringi dengan kecaman,
seakan-akan saya membela pendapat saya dengan hawa nafsu saja,
dan tidak ada ulama salaf yang berpendapat demikian! Saya sanggah
pendapat-pendapat mereka itu dengan memaparkan dalil-dalil dan
bantahan-bantahan mereka, serta mengulas alasan-alasan mereka satu
persatu. Secara khusus, saya bantah pendapat Syaikh Tuwaijiri dalam
kitabnya Ash-Sharim Al-Masyhur, karena dialah tokoh yang paling
menonjol di antara mereka. Terkadang saya bantah mereka dengan
bantahan secara umum saja, yaitu bila dalil yang ada cukup jelas,
tanpa ada kesamaran dan kekaburan. Begitulah seterusnya, sampai
akhirnya tak terasa saya telah mengumpulkan lebih dari seratus
halaman dalam ukuran besar dengan tulisan tangan. Artinya, bila
tulisan itu saya lengkapi, kemudian saya susun (sedemikian rupa
menjadi sebuah buku), niscaya ukurannya hampir sama dengan
ukuran kitab ini, atau bahkan lebih. Dengan demikian,
memasukkan kumpulan tulisan bantahan tersebut ke dalam judul
"Mukadimah Cetakan Baru Kitab Ini" kurang pas dipandang dari
berbagai alasan. Salah satu di antara alasan-alasan tersebut adalah
karena ukuran kitab ini nantinya akan menjadi terlalu tebal. Alasan
lainnya, dan ini yang terpenting, adalah karena tulisan tersebut
merupakan pembahasan spesifik saya. Karena itu, setelah berpikir dan
mempertimbangkan segala sesuatunya akhirnya saya putuskan untuk
tidak memasukkan tulisan saya tadi ke dalam mukadimah buku ini,
dan akan saya terbitkan dalam buku tersendiri. Harapan saya
dengan menjadi satu kitab tersendiri seperti
Jilbab Wanita Muslimah — 11
itu nantinya tulisan tersebut bisa menjadi penerang bagi orang banyak,
dan barangkali, insya Allah, akan lebih bermanfaat serta lebih mudah
untuk disebarluaskan. Kitab tersebut saya beri judul: Ar-Radd Al-
Mufhim 'Ala Man Khalafa Al-'Ulama wa Tasyaddada wa Ta'ashshaba
wa Alzama AI-Mar-ah Ah-Tastura Wajhaha wa Kaffaiha wa
Aujaba wa Lam Yaqna bi Qaulihim: Innahu Sunnah wa Mustahab
(Jawaban Juntas terhadap Mereka yang Menyelisihi Para Ulama,
Bersikap Keras dan Fanatik, serta Mewajibkan Wanita Menutup
Wajah dan Kedua Telapak Tangannya, dan Tidak Puas dengan
Perkataan Mereka: Sesungguhnya Menutup Wajah dan Kedua
Telapak Itu Hukumnya Sunnah dan Mustahab Saja).
Tetapi saya pikir, saya harus menjelaskan, meskipun secara
ringkas, pokok-pokok kesalahan mereka yang menyelisihi pendapat
para ulama dan bersikap keras tersebut.
Pertama. Mereka menafsirkan kata      dalam firman Allah surat
Al-Ahzab ayat 59 dengan: 'menutup wajah'. Penafsiran ini bertentangan
dengan arti asal kata tersebut secara bahasa, yaitu: 'mendekatkan',
sebagaimana disebutkan di dalam kitab Lughah dan disebutkan
pula oleh Al-'Allamah Ar-Raghib Al-Ashbahani di dalam kitab Al-
Mufradat, di mana di situ dia berkata:    
, artinya: 'saya
mendekatkan dua hal satu sama lain/ Kemudian dia menyebutkan
ayat "jiIbab" tersebut, lalu mengemukakan hujjahnya yang sangat jitu,
yaitu bahwa Ibnu Abbas yang dikenal sebagai "turjumanul qur'an"
(penerjemah Al-Qur'an) saja menafsirkan seperti itu. Ibnu Abbas
berkata, "Para wanita mendekatkan jilbab ke wajahnya, yang dimaksud
adalah bukan menutupkannya."
Penjelasan tentang derajat sanad dari riwayat Ibnu Abbas ini akan
disebutkan nanti. Dan, riwayat-riwayat dari Ibnu Abbas juga yang
bertentangan dengan pernyataannya di atas yang dikemukakan
oleh mereka tidaklah shahih.
Kedua. Mereka menafsirkan kata jilbab dengan: 'kain yang menutup
wajah'. Ini tidak ada rujukannya dari segi bahasa, bahkan juga
bertentangan dengan penafsiran para ulama bahwa jilbab adalah
'kain yang dipakai oleh wanita di atas khiamya', bukan menutup di
atas wajahnya. Bahkan, syaikh At-Tuwaijiri sendiri mengutip
penafsiran
12—Jilbab Wcmita Muslimah
ini dari Ibnu Mas'ud dan ulama salaf lainnya. Penafsiran seperti itulah
yang saya kemukakan nanti di dalam kitab ini pada hlm 96-97.
Ketiga. Mereka bersikeras bahwa khimar adalah 'penutup kepala
dan wajah'. Mereka menambah kata 'wajah' pada penafsiran mereka,
agar mereka bisa menjadikan ayat:
"Hendaklah mereka menutupkan khimar-khimar mereka ke dadanya."(
QS.An-Nur: 31)
sebagai hujjah yang menguatkan pendapat mereka, padahal sebenarnya
justru melemahkannya. Sebab, secara bahasa, khimar berarti
'tutup kepala' saja. Pengertian inilah yang dimaksudkan setiap kali
kata khimar ini disebut secara mutlak di dalam As-Sunnah, seperti
hadits-hadits tentang mengusap khimar dan sabda Nabi M-
"Allah tidak akan menerima shalat wanita yang sudah pernah haidh
kecuali dengan memakai khimar. "2
Bahkan, hadits ini menegaskan kesalahan penafsiran mereka.
Sebab, orang-orang yang bersikeras itu sendiri pun -apalagi para
ulama— tidak menjadikan hadits ini sebagai dalil disyariatkannya
menutup wajah bagi seorang wanita di dalam shalat, melainkan
sekedar kepala saja. Maka, tanyakanlah kepada mereka kalau mereka
bisa berbicara!
Yang lebih tegas lagi adalah penafsiran mereka terhadap firman
Allah:
"... untuk menanggalkam pakaian mereka."
Mereka menafsirkan kata 'pakaian' pada ayat di atas dengan
jilbab. Mereka mengatakan, "Seorang wanita tua yang telah
mengalami monopause diperbolehkan menampakkan khimar
mereka
2. Penjelasan tentang sanad hadits ini akan disampaikan kemudian.
Jilbab Wcmita Muslimah— 13
dengan membuka wajah mereka di hadapan laki-laki asing (yang
bukan mahramnya). Penafsiran semacam ini dikemukakan oleh salah
seorang ulama yang disegani di kalangan mereka. Adapun syaikh
Tuwaijiri hanya mengisyaratkan saja. Dia tidak menyatakannya secara
tegas. Ini dijelaskan di dalam kitab Ar-RaddAl-Mufhlm
Saya teiah memeriksa pendapat para ulama salaf maupun khalaf,
pada spesifikasinya masing-masing, saya dapati mereka telah bersepakat
bahwa khimar adalah 'tutup kepala'. Saya catat ada lebih
dari dua puluh nama ulama, yang mereka adalah para imam dan
hafizh. Di antara mereka ada Abul Walid Al-Baji (wafat 474 H.).
Bahkan, beliau menambahkan keterangan tentang hal ini, semoga
Allah membalas dia dengan kebaikan, dengan perkataannya: 'Tidak
ada yang nampak darinya, kecuali lingkaran wajahnya."
Keempat. Syaikh Tuwaijiri mengklaim adanya ijma' ulama, bahwa
wajah wanita adalah aurat, dan banyak orang-orang yang tidak
berilmu bertaklid kepada pendapatnya, bahkan, di antara mereka ada
yang bertitel doktor! Klaim ini tidaklah benar, dan tidak ada satu pun
ulama sebelumnya yang menyatakan seperti itu. Kitab-kitab madzhab
Hanbali, yang dia pelajari, apalagi kitab-kitab lainnya, cukup menunjukkan
kesalahan klaim tersebut. Di dalam kitab Ar-Radd
tersebut, saya telah menyebutkan banyak ucapan ulama madzhab
Hanbali, misalnya adalah ucapan Ibnu'Hubairah Al-Hanbali di dalam
kitabnya Al-lfshah. Di sana disebutkan bahwa tiga imam madzhab
berpendapat bahwa wajah bukan termasuk aurat. Dia sendiri
berkata, "Tentang hal ini juga ada riwayat dari Imam Ahmad."
Banyak ulama madzhab Hanbali yang menguatkan riwayat ini
dalam tulisan-tulisan mereka, seperti Ibnu Qudamah dan lain-lainnya.
Penulis kitab Al-Mughni, (yakni Ibnu Qudamah Pen.) mengemukakan
alasan pendapat tersebut dengan perkataannya, "Karena kebutuhan
menuntut dibukanya wajah untuk jual beli dan kedua telapak
tangan untuk mengambil dan memberi."
Dan ulama lainnya yang berpendapat seperti itu adalah Al-
'Allamah Ibnu Muflih Al-Hanbali. Beliau ini dikomentari oleh Ibnul
Qayyim Al-Jauziyah: "Saya tidak tahu, di bawah kolong langit ini,
ada orang yang lebih tahu tentang madzhab Hanbali daripada Ibnu
14 — Jilbab Wanita Muslimah
Muflih." Sedangkan Ibnu Taimiyah mengomentarinya, "Kamu ini
bukan Ibnu Muflih (anak orang yang beruntung), tetapi kamu ini
Muflih (orang yang beruntung)."
Di sini saya pikir harus menyampaikan perkataan "orang yang
beruntung" ini kepada pembaca, karena mengandung banyak pengetahuan
dan faedah, di antaranya menegaskan kesalahan klaim Syaikh
Tuwaijiri. Dan pendapat dia itu sesuai dengan perkataan ulama lain
yang saya pilih sebagai pendapat saya dalam masalah ini.
Di dalam kitabnya yang sangat berharga Al-Adab Asy-
Syar’iyyah, dimana kitab ini juga merupakan salah satu rujukan
Syaikh Tuwaijiri, sehingga menjadi pertanda bahwa sebenarnya dia
itu mengetahui hakekat persoalan, namun dia berusaha menutupnutupi
kebenaran ilmiah ini kepada para pembaca kitabnya, lalu
mengeluarkan klaim yang bertentangan dengan kebenaran itu!- Ibnu
Muflih rahimahullah berkata: "Bolehkah melarang wanita-wanita
ajnabiyah membuka wajah-wajah mereka di jalan umum? Jawaban
terhadap pertanyaan ini terpulang pada pertanyaan, Apakah wanita
itu berkewajiban menutup wajahnya ataukah kaum laki-laki yang
berkewajiban menundukkan pandangan darinya? Memang, dalam
masalah ini ada dua pendapat. Qadhi 'lyadh rahimahullah berkata
berkait dengan hadits yang diriwayatkan dari Jabir ., dia berkata:
"Saya pernah bertanya kepada Rasulullah tentang pandangan
yang selintas saja. Maka, beliau memerintahkanku untuk
memalingkan pandangan." Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim3.
Para ulama rahimahumullah berkata, "Di dalam hadits ini
terkandung dalil bahwa wanita tidak berkewajiban menutup
wajahnya di jalan. Hukum wanita menutup wajah hanyalah sunnah
saja, dan menjadi kewajiban laki-laki untuk menundukkan
pandangannya dari melihat wanita, dalam keadaan apa pun, kecuali
untuk tujuan syar'i. Ini disebutkan oleh Syaikh Muhyiddin An-Nawawi
tanpa komentar apa pun dari dia.
Kemudian Ibnu Muflih menyebut perkataan Ibnu Taimiyah yang
dijadikan sandaran oleh Syaikh At-Tuwaijiri di dalam kitabnya (hlm.
170) yang berpura-pura tidak tahu adanya pendapat jumhur ulama,
3. Hadits ini akan dijelaskan sanadnya di belakang.
Jilbab Wanita Muslimah— 15
Pendapat Qadhi 'lyadh dan persetujuan Nawawi terhadap
pendapat mereka.
Ibnu Muflih menambahkan, "Oleh karena itu, apakah diperbolehkan
untuk mengingkari? Jawabnya tentu sesuai dengan kaidah yang
berlaku dalam urusan khilaf, di mana sama-sama kita ketahui bahwa
masalah ini adalah termasuk masalah khilafiyah. Adapun menurut
pendapat kami dan pendapat sejumlah ulama madzhab syafi'i dan
Iain-Iain, memandang wanita ajnabiyah adalah diperbolehkan sepanjang
tidak disertai syahwat dan tidak dalam keadaan khalwat
(berduaan saja Pen.); karena itu, tidak selayaknya diingkari."4
Saya katakan: Jawaban ini sangat-sangat sesuai dengan perkataan
Imam Ahmad rahimahullah, "Tidak selayaknya seorang fakih itu
memaksa orang-orang untuk mengikuti pendapatnya."

Comment (0) | Read More...
| Site Map | Rules | F A Q | Reset Password | Lost Username | Recovery FB Connect |